NURUL HIDAYAT, 090315035 (2005) PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO 31 TAHUN 1999 JO UU NO 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI KHUSUSNYA PASAL-PASAL 5, 6, 11, 12 a, b, c, 12 B dan 13. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
|
Text (ABSTRAK)
gdlhub-gdl-s2-2007-hidayatnur-3858-th0407-t.pdf Download (450kB) | Preview |
|
|
Text (FULLTEXT)
34117.pdf Download (1MB) | Preview |
Abstract
Kejahatan korupsi adalah kejahatan terpola, terencana dan tersistem sehingga pelakunya jelas bersalah dengan sengaja melakukan tindak pidana tersebut. Pelakunya juga jelas telah melakukan perbuatan melawan hukum baik formil maupun materil. Suap adalah pemberian sesuatu kepada pejabat yang bertentangan dengan kewajibannya yakni yang melakukan tindak pidana suap aktif (yang memberi suap) dan yang melakukan tindak pidana suap pasif (yang menerima suap) adalah sebagai subyek tindak pidana korupsi, dimana kepada keduanya pelaku aktif maupun pelaku pasif dikenai ancaman hukuman pidana yakni yang diatur dalam Pasal 5, 6, 11, 12 huruf a, b, c, d, 12 B dan Pasal 13 Undang-undang No 13 Tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana terdapat minimal 3 unsur yakni : 1. pemberian (gift) atau janji (belofie) 2. berkaitan dengan jabatannya (in zijn bedizening) 3. Berlawanan dengan kewajibannya (in strij met zijn plicht) Mengingat luar biasa parahnya korupsi di Indonesia, khususnya terhadap Pasal 5, 6, 11, 12 huruf a, b, c, d, 12 B dan Pasal 13 Undang-Undang No 13 Taun 1999 jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-UNdang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi, maka penanganannyapun harus menggunakan cara-cara yang luar biasa pula. Salah satunya dengan menerapkan sistem pembuktian terbalik. Ketentuan yang mengatur tentang pembuktian terbalik terdapat dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a dan b jo Pasal 37, 37 A, 38 A dan 38 B. Sistem ini sebagai lawan dari pembuktian biasa yang didasarkan kepada asas, dimana setiap orang tidak holeh dianggap bersalah sebelum adanya suatu keputusan hakim. Berdasarkan asas tersebut maka dalam sidang pengadilan yang harus membuktikan kesalahan setiap orang yang telah melakukan tindak pidana adalah penuntut umum. Sebaliknya dalam hal pembuktian terbalik, maka orang yang dituduh melakukan tindak pidana itulah yang harus membuktikan di depan sidang bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana. Sistem pembuktian terbalik sebenarnya bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) tetapi tidak bertentangan dengan rule of law yang salah satu unsurnya adalah asas legalitas. Pemberantasan korupsi harus dimulai dari diri kita sendiri dan dari lingkungan kita. Aparat hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi yakni polisi, jaksa, KPK, hakim dan tersangka atau terdakwa dengan penasehat hukumnya harus lebih memahami sistem pembuktian terbalik dan menerapkannya secara konsekuen.
Item Type: | Thesis (Thesis) | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK-2 TH 04/07 Hid p | |||||||||
Uncontrolled Keywords: | Pembuktian tindak pidana korupsi; Undang - undang tentang korupsi | |||||||||
Subjects: | K Law > K Law (General) K Law > K Law (General) > K1-7720 Law in general. Comparative and uniform law. Jurisprudence > K(520)-5582 Comparative law. International uniform law > K5000-5582 Criminal law and procedure > K5015.4-5350 Criminal law |
|||||||||
Divisions: | 03. Fakultas Hukum > Magister Ilmu Hukum | |||||||||
Creators: |
|
|||||||||
Contributors: |
|
|||||||||
Depositing User: | Nn Deby Felnia | |||||||||
Date Deposited: | 2016 | |||||||||
Last Modified: | 15 Jun 2017 19:32 | |||||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/34117 | |||||||||
Sosial Share: | ||||||||||
Actions (login required)
View Item |