PANDE KETUT OKA SUARDANA, 030110109N
(2003)
SISTEM PEWARISAN TANAH KARANG DESA/AYAHAN DESA MENURUT HUKUM ADAT BALI.
Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Abstract
Masyarakat Bali pada umumnya menganut sistem kekeluargaan patrilineal yang bersumber pada ajaran agama Hindu, dimana kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan perempuan dalam hal pewarisan. Pewarisan terhadap tanah karang desa/ayahan desa didasarkan pada sistem pewarisan mayorat, artinya tanah karang desa/ayahan desa dapat diwariskan secara utuh oleh pewaris kepada ahli waris dan tidak boleh di bagi-bagi. Menurut sistem ini pewarisannya hanya dapat diberikan kepada anak laki-laki tertua atau anak laki-laki terbungsu, sedangkan saudara laki-laki lain tidak berhak mewaris. Status hukum tanah karang desa/ayahan desa, bilamana dalam suatu keluarga tidak ada keturunan (putung) dan/atau tidak ada pengayahnya maka tanah tersebut akan diambil kembali oleh Desa Adat yang bersangkutan. Selanjutnya melalui Bendesa Adat (Kepala Adat) dan prajuru desa yang lainnya akan musyawarahkan tentang siapa orang yang berhak mewarisi tanah tersebut. Di dalam hal ini Desa Adat akan menelusuri silsilah dari keluarga si putung, dan yang pertama dicari adalah garis terdekat si putung yaitu dari garis laki-Iaki (kepurusa) terutama yang belum memegang tanah karang desa/ayahan desa. Namun bila garis laki-laki (kepurusa) ini tidak ada, maka akan ditelusuri dari garis keturunan kesamping, jika ini juga tidak ada, maka tanah tersebut akan diserahkan kepada orang lain berdasarkan putusan desa adat. Syaratnya bahwa orang yang menerima tanah ini belum memegang tanah karang desa/ayahan desa dan wajib mengadakan upacara Ngaben (pitra yadnya) orang yang menguasai tanah itu sebelumnya serta harus mau menerima kewajiban berupa ayah-ayahan dari tanah karang desa/ayahan desa yang diterimanya tersebut.
Actions (login required)
|
View Item |