Sarkawi, S.S., M.Hum. and Samidi M. Baskoro, S.S (2005) DARI TUAN GURU HAJI ABDURRASYID KE K.H. IDHAM KHALID: KAJIAN TENTANG PONDOK PESANTREN RASYIDIAH KHALIDIYAH AMUNTAI KALIMANTAN SELATAN. UNIVERSITAS AIRLANGGA. (Unpublished)

Preview	Text (ABSTRAK) gdlhub-gdl-res-2008-sarkawi-6339-kkbkk-2-k.pdf Download (496kB) | Preview
	Text (FULLTEXT) gdlhub-gdl-res-2008-sarkawi-6339-kkbkk-2-7.pdf Restricted to Registered users only Download (2MB) | Request a copy

Abstract

Perkembangan awal dari pesantren ini tidak dapat dipisahkan dari sosok pendirinya, yakni Syekh Abdurrasyid. Pada masa kepemimpinannya, pesantren ini menggunakan sistem pengajaran sorogan dan khalaqah. Namun demikian, dengan cepat beralih pada sistem klasikal yang dilengkapi dengan meja, kursi, dan papan tulis. Selama lima tahun pertama, pelajaran diberikan oleh Syekh Abdurrasyid sendiri dengan memakai sistem beranting (estafet). Beberapa tahun kemudian, kegiatan pengajaran dibantu oleh beberapa alumni yang memiliki kemampuan intelektual. Tiga tahun sebelum wafatnya, Syekh Abdurrasyid menyerahkan kepemimpinan kepada K.H. Juhri Sulaiman. Pada masa kepimpinannya, selain mengajar, juga melakukan penyempurnaan organisasi dan administrasi. Selain itu, nama Arabische School diganti dengan nama baru yaitu Al-Madrasatur Rasyidiyah dengan maksud agar jasa-jasa K.H. Abdurrasyid sebagai orang yang mendirikan perguruan ini tetap dikenang dan cita-cita beliau tetap diteruskan oleh para pengelola berikutnya. Memasuki tahun 1942, K. H. Juhri Sulaeman menyerahkan kepemimpinan kepada H. M. Arif Lubis. Ada beberapa perubahan penting selama H. M. Arif Lubis memimpin perguruan ini. Perubahan tersebut antara lain pergantian nama dari Al Madrasatur Rasyidiyah menjadi Mahad Rasyidiyah dan mulai diajarkannya ilmu pengetahuan umum kepada para santri. Selain itu, beliau juga mulai memperkenalkan tingkatan-tingkatan pendidikan, yakni Ibtidaiyah dan Tsanawiyah serta diadakannya sekolah khusus bagi anak-anak perempuan pada waktu sore. Kepemimpinan H. M. Arif Lubis tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1944 beliau pindah ke Alabio untuk mengajar dan memimpin perguruan Islam di Alabio. Dalam masa kevacuman, perguruan ini tetap berjalan dengan dua orang pengajar, yaitu Zamzam dan Ustadz Ismail Japeri dan dibantu oleh beberapa ulama. Setelah perguruan ini mengalami kevacuman, Idham Khalid yang dibantu dengan beberapa alumni Rasyidiyah yang telah melanjutkan pendidikan di Pondok Modern Gontor Ponorogo mulai membenahi perguruan ini. Hal pertama yang dilakukan Idham Khalid adalah mengganti nama Mahad Rasyidiyah dengan Noy Inaal Islam Amuntai. Pergantian nama ini dilakukan untuk menyesuaikan perguruan dengan sistem pengajaran dan pendidikan yang telah diikutinya di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Pada periode kepemimpinan Idham Khalik, banyak terjadi inovasi, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran, pembangunan fisik, organisasi dan administrasi, pembagian tugas-tugas fungsionaris, serta terorganisasinya madrasah-madrasah Islam yang berada di luar pesantren tersebut, yaitu organisasi Ittihadul Maahidil Islamiyah (IMI) dan berpusat di Normaal Islam Amuntai yang kemudian berkembang menjadi Persatuan Madrasah Islam Indonesia (PMII). Alumni perguruan ini banyak yang telah menjadi ulama, muballigh, dai, pemimpin masyarakat, guru-guru agama, PNS / S, dan lain-lain. Selain itu, terdapat banyak alumni yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri, seperti: Saudi Arabia, Syiria, Mesir, Pakistan, dan Jerman Barat.

Actions (login required)

View Item