YOEYOENG ABDI, 091170406 (2017) Lens Phenomenology: Narasi Kehidupan Lima Perempuan Penjual Jasa Seks dan Fenomena 26 Tempat Pelacuran. Disertasi thesis, Universitas Airlangga.
|
Text (abstrak)
abstrak.pdf Download (131kB) | Preview |
|
Text (full text)
DISERTASI_YOEYOENG ABDI_091170406.compressed.pdf Restricted to Registered users only until 16 November 2020. Download (2MB) |
Abstract
Peneliti menempatkan fotografi sebagai kajian dalam disiplin sosiologi dengan konsep lens phenomenology sebagai hal baru. Fenomena sosial ditransformasikan sebagai reproduksi tanda visual dalam foto. Reproduksi realitas dijelaskan dalam tahap pra produksi, proses produksi dan hasil. Lens phenomenology sebagai metode untuk mengkaji pemahaman dunia subjektif tentang prostitusi. Dalam mengungkap kehidupan perempuan pelacur dan pelacuran lewat story photodengan meletakkan pemahaman apa yang disebut dengan dunia fenomenologis dan produk deskripsi investigatif. Photo narativeuntuk mengungkap lima perempuan pelacur dalam fragmen perjalanan hidup bersifat kronologis dalam front stage dan back stage-nya. Sedangkan photodescriptive memotret fenomena pelacuran 26 tempat prostitusi di beberapa daerah Indonesia. Ada perbedaan konsep temuan hasil penelitian lewat foto tentang penyebab perempuan terjerumus prostitusi terhadap penelitian sebelumnya. Dalam penelitian story photo naratif terungkap bahwa kisah penjual jasa seks sebagai sumber pengetahuan kemanusian yang diteliti, ternyata ada suatu pertarungan yang hebat sekali dalam pekerjaannya.Yang bersangkutan kurang menyadari, terpaksa masuk dalam wilayah bahaya. Perempuan pelacur tidak hanya menjual tubuh, tapi juga pencapaian status sebagai identitas atas tubuh, yakni model, SPG, artis, mahasiswa memiliki nilai jualnya lebih tinggi. Tubuh sosial ditentukan identitas, simbol sosial, popularitas dan status juga mempunyai nilai kemahalan tubuh. Performance, place, space dan identity itu menentukan harga perempuan. Hal itu akhirnya diikuti perempuan pekerja seks di lokalisasi, sehingga perempuan lebih meninggalkan prostitusi konservatif. Perempuan menjalani dua dunia yang berbeda sama sekali dimana kesadaran dirasakan orang yang bersangkutan antara dunia religi dan prostitusi jadi pertarungan wilayah subjektif itu. Penemuan dari story photo bahwa pekerja seks memainkan peran front stage dan back stage-nya. Padahal panggung depan selalu berseberangan dengan panggung belakangnya. Perempuan dari kalangan ekonomi kurang mampu, seolah-olah harus berperan berkecukupan. Menggunakan identitas religius, meskipun berketerbalikan dengan kehidupan sehari-harinya. Perempuan punya kemampuan role taking dalam mengatur wilayah mana mereka berada. Perempuan sendiri mengalami proses dimana perempuan tidak memilki tubuhnya. Mereka melihat bahwa apa yang mereka miliki harus disintesis, diperindah, maupun dikontruksi. Perempuan tidak berhak atas tubuhnya sendiri, karena mereka harus mengikuti pasar. Pelacur memiliki pacar, meskipun melayani hasrat seksual konsumennya. Pelacur melayani hasrat seksual laki-laki konsumen untuk mendapatkan materi, sedangkan pelacur mengekspresikan seksual kepada pacar untuk mendapatkan kepuasan seksualnya. Ekspresi artifisial seksual sebagai cara untuk mengelabuhi konsumennya. Pantangan bagi pelacur mendapatkan orgasme dari konsumennya. Perempuan pelacur dalam terminologi feminis, sebenarnya lebih laki-laki daripada laki-laki itu sendiri. Posisi perempuan pelacur sebagai subjek dan objek sangat free floating. Perempuan tidak selalu dalam dominasi laki-laki dalam prostitusi. Tidak ada kestabilan peran subordinat maupun dominan (subordinat) dalam prostitusi. Pelacur dengan posisi negosiasi tinggi, maka dia lebih superioritas dibanding konsumen. Pada story photo deskriptif, aspek placesebagai negosiation space menempatkan medium hiburan, relaksasi maupun tontonan berafiliasi dengan prostitusi. Semakin tidak ada lagi stigma pada prostitusi laten, membuat perempuan bebas mengekspresikan dirinya dalam dunia pelacuran. Perempuan semakin punya keberanian mengeksibisi tubuhnya. Prostitusi laten semakin terbuka dengan menggiring perempuan untuk jadi pelacur tanpa diketahui sebagai pelacur. Mereka hanya berpindah dari medium satu ke medium lainnya.Menutup medium prostitusi tidak berguna jika perempuan tetap menjadikan pelacuran sebagai sebagai sumber penghidupan.Apalagi teknologi informasi lewat sosial media meluaskan transaksi seks. Pelacuran mengajarkan perempuan mengerti migrasi dan rotasi, membentuk peer group dimana pertemanan komunitas sebagai wilayah mendapatkan knowlegde transfer. Dunia prostitusi menciptakan ekosistem prostitusi, sehingga regenerasi perempuan selalu terjadi terus-menerus. Prostitusi mendeklarasikan sebagai medium cepat mendapatkan materi. Oleh karena itu, perempuan pelacur diawali sebagai korban dan berlanjut sebagai pelaku dalam prostitusi karena ekosistem itu mengubah inferioritas menjadi superioritas. Dunia pelacuran membutuhkan perempuan baru secara kontinu, sehingga selalu diciptakan regenerasi pelacur
Item Type: | Thesis (Disertasi) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KKB KK-2 Dis S 04/17 Abd l | ||||||
Uncontrolled Keywords: | lens phenomenology, prostitusi, performance,place, space, identity, front stage dan backstage, feminisme, subordinat, inferioritas, superordinat, story photo | ||||||
Subjects: | H Social Sciences > HM Sociology | ||||||
Divisions: | 07. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Sosiologi | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Unnamed user with email indah.fatma@staf.unair.ac.id | ||||||
Date Deposited: | 15 Nov 2017 22:13 | ||||||
Last Modified: | 15 Nov 2017 22:13 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/66719 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |