BAGUS TEGUH SANTOSO (2020) DEKONSTRUKSI KONSEP SANKSI PIDANA ADMINISTRASI (ADMINISTRATIVE PENAL LAW) DALAM HUKUM PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI INDONESIA. Disertasi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Text
1. HALAMAN JUDUL .pdf Download (686kB) |
|
Text
2. ABSTRAK .pdf Download (351kB) |
|
Text
3. DAFTAR ISI .pdf Download (326kB) |
|
Text
4. BAB 1 .pdf Download (883kB) |
|
Text
5. BAB 2 .pdf Restricted to Registered users only until 1 September 2023. Download (881kB) | Request a copy |
|
Text
6. BAB 3 .pdf Restricted to Registered users only until 1 September 2023. Download (964kB) | Request a copy |
|
Text
7. BAB 4 .pdf Restricted to Registered users only until 1 September 2023. Download (793kB) | Request a copy |
|
Text
8. BAB 5 .pdf Restricted to Registered users only until 1 September 2023. Download (317kB) | Request a copy |
|
Text
9. DAFTAR PUSTAKA .pdf Download (493kB) |
|
Text
10. LAMPIRAN .pdf Restricted to Registered users only until 1 September 2023. Download (524kB) | Request a copy |
Abstract
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158-165 UU Minerba berpotensi menjadikan bertentangan satu sama lain (contradictive) antara tujuan hukum yaitu keadilan (justice) dengan tujuan Negara yaitu kesejahteraan (welfarestate). Apabila paradigma sempit yang menganggap hukum normatif adalah positivistik, sehingga ketika penerapan ketentuan pidana dimaksud digunakan sebagai senjata utama (primum remidium) sebelum dilakukannya upaya pencegahan atau tindakan pendahuluan melalui sanksi administratif. Menjadikan sanksi pidana sebagai instrumen yang bersifat punitive semata, tanpa memperhatikan tujuannya sebagai social defence yang bersifat restorative atau pemulihan pada keadaan semula. Terjadinya penalisasi yang memuat ketentuan pidana penjara dan denda dalam pemahaman komperhensif berpotensi menimbulkan overcriminalization bagi rakyat yang melakukan PETI, apabila dalam penerapannya tidak memperhatikan prinsip “proporsionalitas” dan “subsidaritas” dalam hukum pidana. Menjadikan perdebatan secara filosofis apakah tindakan PETI merupakan tindakan yang sejatinya bertentangan dengan hukum pidana murni (strafbaarfeit) ataukah bermula dari pelanggaran hukum administrasi yang berkaitan dengan izin (IUP,IPR,IUPK) dan kemudian menggunakan sanksi pidana dalam penegakkan hukumnya yang kemudian dikenal dengan istilah sanksi pidana administrasi (administrative penal law). Perlu juga dicermati, bahwa didalam hukum pertambangan di Indonesia terdapat beberapa ketentuan sanksi pidana dan denda yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang diatur dalam Pasal 158-165, antara lain: 1. Melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK (Pasal 158); 2. Menyampaikan laporan yang tidak benar atau keterangan palsu (Pasal 159); 3. Melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK (Pasal 160); 4. Mempunyai IUP eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi (Pasal 161); 5. Menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batu bara yang bukan pemegang IUP, IUPK, atau izin (Pasal 162); 6. Merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan (Pasal 163); dan 7. Mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dan menyalahgunakan kewenangannya (Pasal 165). Isu hukum 1. Ratio legis penerapan sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. 2. Karakteristik sanksi pidana administrasi (administrative penal law) dalam pengaturan hukum pertambangan di Indonesia. 3. Penerapan sanksi pidana administrasi (administrative penal law) dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berdampak pada kerusakan lingkungan. IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DISERTASI DEKONSTRUKSI KONSEP SANKSI BAGUS TEGUH SANTOSO Metode Penelitian Penelitian desertasi ini bersifat doktrinal (doktrinal research) menggunakan tipe penelitian hukum normatif (legal research) pada tataran filosofis. Peneliti menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan kasus (case approach). Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan snowball technic. Pembahasan Penerapan sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda di dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara memiliki ratio legis bagi Pemerintah sebagai “Penguasa” kekayaan alam Bangsa Indonesia untuk mengendalikan tindakan dari subjek hukum pelaku kegiatan pertambangan (perorangan maupun korporasi) agar tunduk dan patuh pada legitimasi kekuasaan melalui instrumen kewenangan (bevogheid) dalam menjalankan fungsi pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (teozichthoudensdaad). Kewajiban pengelolaan sumberdaya alam mineral dan batubara oleh Pemerintah direfleksikan didalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 untuk tujuan peningkatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan (suistinable development) dan berwawasan lingkungan (environment protection). Instrumen kewenangan Pemerintah melalui mekanisme perizinan (vergunning), sebagai bentuk transformasi dari konsep konsesi, kontrak karya dan kuasa pertambangan sebelum hadirnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Melalui mekanisme perizinan kedudukan Pemerintah diposisikan lebih superior dari pada investor yang hendak melakukan eksploitasi kekayaan mineral dan batubara di Indonesia, sehingga bagi pelaku kegiatan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia diwajibkan untuk memiliki izin sebelum melakukan kegiatan eksplorasi dan/ atau operasi produksi. Dengan demikian, konsep izin dipersamakan dengan konsep hak atau kebolehan untuk melakukan sesuatu yang dibenarkan menurut hukum. Sehingga dalam melakukan kegiatan pertambangan tanpa disertai dengan izin dipersepsikan sama dengan melakukan kegiatan pertambangan tanpa hak. Oleh karenanya, Pemerintah diperbolehkan untuk menerapkan sanksi berupa pidana penjara dan pidana denda kepada subjek hukum yang melanggarnya. Hak untuk mendapatkan sesuatu diiringi dengan kewajiban untuk berbuat sesuatu secara equal berdasarkan aturan hukum, hal ini dapat dicermati dalam Pasal 28J UUD NRI 1945. Namun demikian Pemerintah beserta stake holder terkait, perlu dengan cermat memperhatikan pengaturan norma yang bersifat administratif, ketika hendak menerapkan ketentuan pidana berupa perampasan hak kemerdekaan (penjara) dan perampasan hak ekonomis (denda). Untuk mencegah terjadinya overcriminalization, patut kiranya untuk merujuk pada prinsip subsidaritas dan proporsionalitas dalam implementasi penerapan dan penegakan hukumnya. Karakteristik sanksi pidana administrasi (administrative penal law) dalam pengaturan hukum pertambangan mendasari pada legitimasi kekuasaan Pemerintah IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DISERTASI DEKONSTRUKSI KONSEP SANKSI BAGUS TEGUH SANTOSO melalui instrumen perizinan. Kementrian ESDM sebagai wakil dari Pemerintah Pusat dan Gubernur sebagai representasi Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam penentuan Wilayah Pertambangan (WP) dan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dengan demikian kewenangan pengelolaan sumber daya mineral dan batubara masih melekat pada Pemerintah, sehingga subjek hukum baik peorangan maupun korporasi diwajibkan taat pada kebijakan regulasi ketika melakukan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Hal dimaksud dikarenakan sumber daya alam merupakan energi yang tidak terbaharukan (unrnewable sources) guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan sustainable development. Dalam rangka memastikan kaidah pertambangan yang baik (good minning practice) terlaksana, diperlukan pengaturan, pengawasan dan penegakan hukum guna menghasilkan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sehingga tujuan akhir untuk kesejahteraan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan tercapai. Pengklasifikasian perbuatan yang diancam dengan ketentuan pidana dalam hukum pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia, berdasarkan Pasal 158-165 UU No. 4 Tahun 2009 memiliki karakteristik pidana administrasi (administrative penal law) yang merupakan perpaduan antara konsep hukum pidana dan hukum administrasi sebagai hukum hibrida (gabungan). Parameter dan kualifikasi suatu perbuatan sebagai pidana administrasi (administrative penal law) adalah berkaitan dengan adanya pelanggaran hak dalam konteks perizinan mengenai: Keselamatan/Nyawa, Kewenangan/ Jabatan/Kedudukan/Posisi Pemerintah, Lingkungan Hidup, Keuangan Publik/Kekayaan Negara, Kesehatan, Kehormatan, Harta Benda, dan Kepentingan Nasional/ Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Sehingga memiliki kekhususan diluar dari asas-asas hukum pidana umum, memiliki sanksi yang bersifat “ekstra” aturan pidana. Namun demikian ketentuan pidana penjara dan pidana denda dalam UU Minerba saat ini dirasa tidak operatif, karena vonis pidana denda dapat disubsiderkan dengan pidana kurungan yang merupakan ciri khas dari sistem peradilan umum (merujuk pada KUHP dan KUHAP). yang seharusnya sanksi administrasi digunakan sebagai primum remidium dan dapat dikomulasikan dengan pidana penjara sebagai ultimum remidium, karena karakteristik dari sanksi administrasi adalah preventif yang bertujuan untuk memulihkan (recovery), sedangkan sanksi pidana penjara adalah represif yang bertujuan untuk penghukuman (injury). Namun demikian apabila formulasi kedua sanksi dimaksud (administrative penal law) digunakan secara elaboratif dan konstruktif, maka segala perbuatan yang berkaitan dengan pelanggaran izin dalam kegiatan usaha pertambangan dan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup akan teratasi dengan penggunaan konsep pidana administrasi dalam arti sesuguhnya sebagai quasi penal law, sanksi pidana digunakan sebagai alat bantu (hulp recht) dalam penegakan terhadap pelanggaran norma-norma administrasi, sehinga hukum administrasi sebagai “hukum antara” memiliki proposisi peran yang signifikan dalam proses penegakan hukumnya. Penerapan sanksi pidana administrasi (administrtive penal law) dalam berbagai undang-undang di Indonesia yang berdampak pada kerusakan lingkungan IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DISERTASI DEKONSTRUKSI KONSEP SANKSI BAGUS TEGUH SANTOSO hidup selain telah diatur dalam Pasal 98-120 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga diatur dalam 10 Undang- Undang lainnya, diantaranya: 1. Pasal 52 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (LN No.104 Tahun 1960; TLN No.2043); 2. Pasal 78 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (LN No.167 Tahun 1999; TLN No.3888); 3. Pasal 51-58 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (LN No.104 Tahun 1960; TLN No.2043); 4. Pasal 39 Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (LN No. 69 tahun 2008; TLN No. 4851); 5. Pasal 158-165 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (LN No.4 Tahun 2009; TLN No.4959); 6. Pasal 64 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (LN No.11 Tahun 2009; TLN No.4966); 7. Pasal 98-120 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN No.140 Tahun 2009; TLN No.5059); 8. Pasal 85 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (LN No.154 Tahun 2004; TLN No,5073); 9. Pasal 82-109 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LN No.130 Tahun 2013; TLN No.5432); 10. Pasal 49 Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (LN No.294 Tahun 2014; TLN No.5603); 11. Pasal 68-74 Undang-Undang No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (LN No.190 Tahun 2019; TLN No.6405). Pengaturan pidana administrasi (administrative penal law) diatas, di berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang memiliki sanksi bersifat “ekstra” pidana belum dipahami dalam penerapan hukum serta penegakan hukum yang konstruktif sesuai pemahaman quasi penal law berdasarkan prespektif hukum administrasi. Sehingga mengakibatkan proses penegakan hukumnya mengacu pada ketentuan dan asas-asas umum hukum pidana sebagaimana proses peradilan pidana umum. Oleh karena itu diperlukan gagasan penyelesaian secara khusus terhadap suatu perbuatan yang melanggar norma administrasi berkaitan dengan perizinan dengan disertai pidana administrasi (administartive penal law) sebagai gabungan hukum pidana dan hukum administrasi (hibrida) melalui lembaga khusus (quasi judiciil), seperti halnya Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Namun dalam gagasan yang diusung ini dengan hadirnya lembaga khusus, yaitu Komisi Pengawasan Perlindungan Lingkungan Hidup (KPPLH) yang berorientasi pada konsep keadilam restoratif (restorative justice) sebagaimana memiliki kesamaan ideologi menurut Pancasila sila Ke-5, guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal dimaksud tentu didasarkan pada pertimbangan, bahwa alam juga memiliki legal entity untuk diperhatikan tentang keberadaan dan kelestariannya, sehingga subjek hukum (perorangan maupun korporasi) tidak bisa sembarangan melakukan IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DISERTASI DEKONSTRUKSI KONSEP SANKSI BAGUS TEGUH SANTOSO eksploitasi tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkannya, karena sumberdaya alam merupakan warisan bersama yang harus dijaga eksistensinya. Pemberlakuan sanksi pidana penjara saja tidak menjadikan sumber daya alam kembali pada kondisi semula, dibutuhkan program pembangunan yang berkelanjutan sustainable development. Oleh karena itu diperlukan upaya restorasi dalam menghadapi persoalan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup. Melalui instrumen perizinan, Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pelayanan publik sekaligus perlindungan melakukan kontrol (pengawasan) dan penegakan hukum, sehingga pelanggaran terhadap izin selain dikenai sanksi administrasi sebagai tindakan preventif juga dapat disertai dengan pidana penjara sebagai tindakan represif yang optimal (secara beriringan;komulatif) melalui Komisi Pengawasan Perlindungan Lingkungan Hidup (KPPLH) dengan tetap memperhatikan prinsip legalitas, subsidaritas, dan proporsionalitas. Pada penulisan desertasi ini penulis memberikan gagasan ideologi negara hukum Pancasila yang menggunakan prinsip musyawarah dan asas kerukunan. Patutlah dibuat suatu Komisi Pengawasan Perlindungan Lingkungan Hidup (KPPLH) yang memiliki fungsi dalam pembuatan norma, pelaksanaan peraturan dan sekaligus mengadili sebagai lembaga pengadilan khusus yang memutus perkara bersifat final and binding. KPPLH terintegrasi dalam kewenangannya untuk memeriksa, menuntut sekaligus mengadili suatu perbuatan atau tindakan yang berpotensi melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup berkaitan dengan pelanggara izin, dilakukan secara terpadu dan terintegrasi dibawah kewenangan Mahkamah Agung sebagai judex juris, sehingga ketika hasil putusan dari Komisi Pengawasan Perlindungan Lingkungan Hidup (KPPLH) judex factie dirasa tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan, dapat dimintakan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung dengan disertai bukti baru (novum) dan pertimbangan yang rasional. Potensi hadirnya gagasan pengadilan khusus dalam format Komisi Pengawasan Perlindungan Lingkungan Hidup (KPPLH) sebagai lembaga peradilan semu yang menjalankan fungsi eksekutif sekalikus yudikatif seperti halnya Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dimungkinkan dalam lingkungan pengadilan khusus dalam peradilan umum dibawah Mahkamah Agung, dengan melibatkan stake holder terkait seperti Kementrian Energi Sumber Daya Mineral, Kementrian Kehutanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, dan Kementrian Lingkungan Hidup. Sebagai suatu upaya terintegrasi dalam rangka pembangunan berkelanjutan sustainable development terkait persoalan dibidang sumberdaya alam dan energi yang tidak terbaharukan. Diperlukan instrumen hukum acara (hukum formil) yang baru serta Surat Keputusan Bersama antara aparatur Penegak Hukum pidana umum dan pidana administrasi guna mencegah terjadinya konflik kepentingan (overlapping) kewenangan. Diperlukan dasar legitimasi kewenangan (hukum materiil) untuk hadirnya lembaga baru (quasi judiciil) dalam suatu undang-undang sebagai omnibus law guna memadukan proses penegakkan hukum yang berdampak pada kerusakan IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DISERTASI DEKONSTRUKSI KONSEP SANKSI BAGUS TEGUH SANTOSO lingkungan hidup akibat dari kegiatan pertambangan, kehutanan, perikanan, dan lainnya tanpa izin maupun pelanggaran izin. Sehingga didapatkan suatu konsep penegakkan hukum di bidang lingkungan hidup (integrated environment justice system) yang terintegrasi dengan mencerminkan prinsip perlindungan terhadap masyarakat dan lingkungan secara sinergis dan berkelanjutan.
Item Type: | Thesis (Disertasi) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Additional Information: | KK KKB Dis H 16-20 | ||||||
Uncontrolled Keywords: | Administrative Penal Law, Sustainable Development, dan KPPLH | ||||||
Subjects: | K Law > K Law (General) | ||||||
Divisions: | 03. Fakultas Hukum > Doktoral Ilmu Hukum | ||||||
Creators: |
|
||||||
Contributors: |
|
||||||
Depositing User: | Agung BK | ||||||
Date Deposited: | 01 Sep 2020 05:19 | ||||||
Last Modified: | 01 Sep 2020 05:19 | ||||||
URI: | http://repository.unair.ac.id/id/eprint/98262 | ||||||
Sosial Share: | |||||||
Actions (login required)
View Item |